Jangan Terjebak Pola Pikir ‘Mestinya’ atau ‘Harusnya’, Kenapa? Begini Alasannya!

“Penderitaan berasal dari jarak antara harapan dan kenyataan.”
Epictetus, filsuf Stoik

Kamu pernah mikir gini?

“Mestinya aku udah sukses.”

“Harusnya dia ngerti aku.”

“Mestinya hidupku nggak begini-begini amat.”

Sekilas, itu cuma curhatan biasa. Tapi kalau dipikir-pikir…

Kamu tau?

Pola pikir kayak gitu bisa pelan-pelan bikin kita stres, kecewa, dan ngerasa hidup selalu kurang.

Kamu ngerasa nggak sih, kayak selalu ada jarak antara apa yang kamu harapkan dan apa yang benar-benar terjadi?

Dan makin sering kita hidup di kepala sendiri, makin sulit menerima kenyataan yang sebenarnya sedang terjadi di depan mata.

Kenapa Pola Pikir ‘Mestinya’ dan ‘Harusnya’ Perlu Diwaspadai?

Pola pikir ini seringkali muncul diam-diam, apalagi saat kita lagi kecewa atau ngerasa gagal.

Tapi yang jarang kita sadari, kalimat-kalimat itu menyiratkan satu hal:

Kita sedang memaksakan dunia berjalan sesuai kemauan kita.

Dan waktu kenyataan menolak nurut, kita jadi:

  • Gampang emosi
  • Menyalahkan keadaan
  • Ngerasa hidup ini nggak adil
  • Susah bersyukur meskipun udah punya banyak hal

Mungkin kamu berpikir,

“Tapi salah ya punya harapan?”

Enggak. Sama sekali enggak.

Yang bikin berat itu kalau harapan itu kamu anggap sebagai kewajiban dunia untuk memenuhinya.

Dan saat dunia nggak menuruti, kamu pun merasa gagal atau dikhianati.

Realita Nggak Selalu Sesuai Ekspektasi—dan Itu Nggak Masalah

Pola pikir ‘mestinya’ dan ‘harusnya’ bisa bikin kamu:

✅ Terlalu fokus pada “yang tidak terjadi”

✅ Lupa bahwa hidup terus berjalan

✅ Melewatkan peluang dan pelajaran dari kenyataan yang berbeda

Kamu pernah kan, ngerasa frustasi karena sesuatu nggak sesuai rencana, padahal kalau dipikir sekarang, jalan itu justru lebih baik?

Nah, itu karena waktu itu kamu masih keukeuh sama “mestinya.”

Bagaimana Cara Mengubahnya?

Tenang, pola pikir ini bukan hal yang susah diubah. Tapi butuh kesadaran dan latihan.

Dan kamu nggak harus langsung jadi pribadi super sabar. Cukup mulai dari satu hal:

1. Sadar saat ‘mestinya’ dan ‘harusnya’ muncul di kepala

Kamu tau? Banyak orang terjebak dalam pikiran ini tanpa sadar.

Makanya, begitu kamu mulai mikir:

“Harusnya dia ngerti aku.”
“Mestinya gue udah nikah.”

Berhenti sejenak. Tarik napas.

Dan tanya:

“Ini fakta, atau harapan pribadi gue aja?”

Dari situ, kamu bisa mulai berpikir dengan kepala yang lebih jernih.

2. Ubah kata-katanya jadi lebih lentur dan realistis

Coba bandingin dua kalimat ini:

“Harusnya gue dapet promosi tahun ini.”

“Gue belum dapet promosi, tapi mungkin ada hal yang perlu gue pelajari lagi.”

Yang pertama bikin kamu ngerasa diperlakukan nggak adil.

Yang kedua? Bikin kamu tetap semangat dan terbuka buat belajar.

Kamu bisa bilang:

✅ “Belum sesuai harapan, tapi aku masih terus berkembang.”
✅ “Nggak sesuai rencana, tapi aku bisa cari jalan lain.”
✅ “Aku kecewa, tapi aku nggak akan berhenti.”

3. Terima kenyataan, lalu mulai dari titik itu

Kamu mungkin mikir,

“Kalau nerima, apa nggak pasrah?”

Nggak juga.

Menerima itu bukan berhenti. Tapi berdamai dengan titik awal.

Karena dari titik itulah kamu bisa bangun ulang langkah yang lebih kuat dan realistis.

Misalnya:

  • Gagal masuk kampus impian? Yaudah, gali peluang di tempat baru.
  • Nggak sesuai ekspektasi klien? Belajar dari feedback-nya.
  • Ngerasa telat dari yang lain? Jalan kamu emang beda. Dan itu nggak apa-apa.

Hidup yang Lentur Justru Lebih Kuat

Pola pikir “mestinya” dan “harusnya” sering bikin kita kaku. Dan yang kaku itu gampang patah.

Tapi kalau kamu bisa lentur—bisa melihat kenyataan apa adanya, kamu jadi lebih kuat, lebih fleksibel, dan lebih tenang.

Inilah salah satu bentuk cara sukses di bidang apa pun:

Bukan soal dunia nurut sama kamu, tapi kamu bisa menavigasi dunia, bahkan saat dia menolak permintaanmu.

Intinya: Ubah Cara Pandang, Biar Hidupmu Lebih Ringan

Nggak semua hal harus terjadi sesuai rencanamu.

Dan itu bukan berarti kamu gagal.

Kadang yang kamu anggap “kegagalan” hari ini.

Justru jadi pintu buat pengalaman yang lebih baik besok.

Jadi, daripada terus mikir:

“Harusnya gue udah di sana.”

Coba tanya:

“Kalau kenyataannya begini, apa langkah terbaik yang bisa gue ambil sekarang?”

Jawaban itulah yang akan jadi arah hidupmu ke depan.

Lebih jujur, lebih sehat, dan jauh lebih membebaskan.

Siap?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top